Monday 5 March 2012

Rukun Qauli

Blog ini hanyalah sebagian dari keupayaanku untuk berkongsi dalam pengertian hidup ini. Bukan untuk menunjuk pandai melatih itik bernang , apalagi untuk berbangga diri. Setidaknya, aku telah berbuat sesuatu untuk mengisi hidup yang hanya sementara ini. Tetapi yang jelasnya aku cuba menyampaikan kepada pencinta kearah ini daripada penukil asalnya. Wallohua'lam.

 Tafsir Al-Fatihah

A.    TEKS AYAT

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)  [الفاتحة : 1 - 7
B.     TERJEMAH AYAT

  1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
  2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam;
  3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang;
  4. Yang menguasai Hari Pembalasan.
  5. Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
  6. Tunjukkanlah kami jalan yang lurus;
  7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

C.    PENJELASAN UMUM 

Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat dan menurut mayoritas ulama diturunkan di Mekkah.[1] Namun menurut pendapat sebagian ulama, seperti Mujahid, surat ini diturunkan di Madinah. Menurut pendapat lain lagi, surat ini diturunkan dua kali, sekali di Mekkah, sekali di Madinah.[2] Ia merupakan surat pertama dalam daftar surat Al-Qur’an. Meski demikian, ia bukanlah surat yang pertama kali diturunkan, karena surah yang pertama kali diturunkan adalah Surah al-Alaq.[3]
Surat ini dinamakan al-fatihah (pembuka) karena secara tekstual ia memang merupakan surat yang membuka atau mengawali Al-Qur’an, dan sebagai bacaan yang mengawali dibacanya surah lain dalam shalat.[4] Selain al-Fatihah, surat ini juga dinamakan oleh mayoritas ulama dengan Ummul Kitab. Namun nama ini tidak disukai oleh Anas, al-Hasan, dan Ibnu Sirin. Menurut mereka, nama Ummul Kitab adalah sebutan untuk al-Lauh al-Mahfuzh.[5] Selain kedua nama itu di atas, menurut as-Suyuthi memiliki lebih dari dua puluh nama, di antaranya adalah al-Wafiyah (yang mencakup)[6], asy-Syafiyah (yang menyembuhkan), [7] dan as-Sab’ul Matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang).[8]
Dinamakannya Al-Fatihah sebagai Ummul Kitab (Induk Kitab) adalah karena ia mengandung seluruh tema pokok dalam Alquran, yaitu tema pujian kepada Allah yang memang berhak untuk mendapatkan pujian, tema ibadah dalam bentuk perintah maupun larangan, serta tema ancaman dan janji tentang hari kiamat.[9] Dengan kata lain, al-Fatihah mencakup ajaran-ajaran pokok dalam Islam, yaitu ajaran tentang tauhid, kepercayaan terhadap Hari Kiamat, cara beribadah, dan petunjuk dalam menjalani hidup.   

D.    KEUTAMAAN AL-FATIHAH

Paling tidak ada, ada dua  keutamaan Surah al-Fatihah, pertama: membaca Surah Al-Fatihah  adalah salah satu rukun dalam shalat. Dengan demikian, ia pun selalu dibaca dalam setiap shalat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ يَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَاب ِ (رواه ابن حبان)
Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Surah al-Fatihah (H.R. Ibnu Hibban).[10]

Keutamaan kedua adalah bahwa al-Fatihah merupakan surat paling agung dalam Al-Qur’an. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW:
عَنْ أَبِي سَعِيدِ بْنِ الْمُعَلَّى قَالَ كُنْتُ أُصَلِّي فَدَعَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ أُجِبْهُ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ أُصَلِّي قَالَ أَلَمْ يَقُلْ اللَّهُ {اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ} ثُمَّ قَالَ أَلَا أُعَلِّمُكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ مِنْ الْمَسْجِدِ فَأَخَذَ بِيَدِي فَلَمَّا أَرَدْنَا أَنْ نَخْرُجَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ قُلْتَ لَأُعَلِّمَنَّكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ. [11]

Dari Abu Sa’id bin al-Mu’alla, ia berkata, Saya sedang shalat, lantas Nabi SAW memanggilku, dan aku tidak menyahut panggilan beliau. (Usai shalat), aku pun menemui beliau dan berkata, “Ya, Rasulullah, saya sedang shalat.” Beliau lalu bersabda, “Bukankan Allah berfirman: [ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (QS. Al-Anfal: 24)?”] Kemudian, beliau kembali bersabda, “Maukah kau kuajari sebuah surat yang paling agung dalam Al Quran sebelum kamu keluar dari masjid nanti?” Maka beliau pun berjalan sembari menggandeng tanganku. Tatkala kami sudah hampir keluar masjid, aku pun berkata, “Wahai Rasulullah, Anda tadi telah bersabda, ‘Aku akan mengajarimu sebuah surat paling agung dalam Al Quran?’” Maka beliau bersabda, “(Surat itu adalah) Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al Fatihah), itulah As Sab’ul Matsaani (tujuh ayat yang sering diulang-ulang dalam shalat) serta Al Quran Al ‘Azhim yang dikaruniakan kepadaku.”



E.     TENTANG BACAAN TA’AWWUDZ DAN BASMALAH

1.      TA’AWWUDZ
Istilah ta’awudz (تعوذ ) atau istia’adzah (استعاذة ) digunakan untuk merujuk kepada ungkapan permohonan untuk meminta perlindungan kepada Allah dari godaan setan. Permohonan perlindungan demikian tersebut merupakan perintah Allah setiap kali seseorang hendak membaca Alquran. Hal ini sesuai dengan firman-Nya: 
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ (98) [النحل : 98]  
Apabila kau membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. (QS. An-Nahl: 98)


Menurut mayoritas ulama, ungkapan ta’awudz itu adalah: [12]
أَعُوْذُ بِاللِه مِنَ الشََّيْطَانِ الرَّجِيْم  ِ

Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.
Ungkapan ta’awudz tersebut, menurut ijma ulama, bukanlah termasuk ayat Alquran dan bukan pula termasuk salah satu ayat.[13] Meski diperintah untuk dibaca sebelum membaca Alquran, namun perintah tersebut bukanlah sebagai perintah wajib, namun hanyalah sunnah (nadb). Hal ini sesuai pula dengan  pandangan mayoritas (jumhur) ulama.[14] Sedangkan sebagian ulama lain, seperti Atha menyatakan bahwa ta’awudz merupakan perintah wajib pada setiap kali membaca Alquran.[15]
Dalam beribadah, manusia bisa tergelincir kepada sikap pamer (riya) dan sombong (ujub). Karena itulah, saat membaca Alquran, kita dianjurkan untuk membaca ta’awudz, agar selamat dari sikap sikap riya dan ujub yang notabene berasal bisikan setan.[16] Di samping itu, setan selalu menempatkan dirinya sebagai musuh bagi manusia. Setan bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan umat manusia. Allah menceritakan sumpah setan ini di dalam Al Quran,


قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ (82) إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ (83) [ص : 82 ، 83]
Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, Kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka. (Qs. Shad: 82-83)



Isti’adzah/ta’awwudz (meminta perlindungan) adalah bentuk tauhid kepada Allah dengan hanya memohon perlindungan kepada-Nya. Karena itulah, memohon perlindungan kepada selain Allah adalah kesyirikan. Orang yang baik tauhidnya akan senantiasa merasa khawatir dirinya terjerumus dalam kesyirikan. Sebagaimana Nabi Ibrahim yang demikian takut kepada syirik sehingga beliau berdoa kepada Allah,
وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ (35) [إبراهيم : 35]
Dan jauhkanlah aku serta anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (QS. Ibrahim: 35)



2.      BASMALAH
Basmalah atau tasmiyah adalah merujuk kepada ungkapan:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Para ulama Madinah, Bashrah, dan Syam menganggap bahwa basmalah bukanlah termasuk ayat Alquran, termasuk bukan ayat dalam Surah Al-Fatihah, kecuali dalam surah an-Naml.[17] Adanya basmalah hanyalah berfungsi sebagai pemisah antara satu surah dengan surah lain serta demi mencari keberkahan karena mengawali membaca Alquran dengan basmalah. Pendapat seperti ini pula yang dipilih Imam Hanafi dan para pengikutnya. Karena itulah, mereka selalu membaca secara perlahan (sirr) di dalam shalat.[18]
 Sedangkan menurut Imam Syafi’i, basmalah adalah awal ayat dalam surah al-Fatihah,[19] karena itulah dalam mazhab Syafi’i, basmalah diucapkan secara jelas (jahr).[20] Menurut Ibnu Abbas, basmalah adalah awal ayat pada setiap surah.[21]
Dalam mushaf Utsmani, basmalah tidak dicantumkan di awal Surah al-Bara’ah (at-Taubah). Di dalam al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, hal ini karena sesuai dengan adat istiadat orang Arab. Jika mereka mengadakan sebuah perjanjian antara satu kelompok dengan kelompok lain, lantas satu pihak hendak membatalkan perjanjian itu, maka pihak tersebut mengirimkan sebuah surat dan tidak mencantumkan kalimat basmalah di awal surat sebagaimana kebiasaan mereka mengirimkan surat.[22] Hal ini sesuai dengan isi surah al-Bara’ah yang membatalkan perjanjian perdamaian antara orang Islam dengan orang kafir.
Menurut pendapat lain yang lebih kuat, tidak dicantumkannya basmalah dalam surah al-Bara’ah karena sebenarnya surah al-Bara’ah adalah masih satu surah dengan surah sebelumnya, yaitu al-Anfal. Surah al-Anfal adalah bagian awal surah, dan surah al-Baraah adalah bagian akhir surat. Apalagi isi dan kisah yang ada dalam kedua surah itu memang mirip sekali.[23]
Pendapat lain menyatakan bahwa tidak dicantumkannya basmalah dalam surah at-Bara’ah karena tidak adanya kesesuaian antara basmalah yang mengandung makna kasih sayang (rahmat) dengan makna pemutusan hubungan perjanjian (tabarru) yang terdapat di awal surah al-Bara’ah. Namun pendapat ini ditolak oleh sebagian ulama. Karena ternyata banyak ada beberapa awal surat yang menggunakan kata wail (celaka), namun tetap didahului dengan basmalah. Padahal kata wail tidak sesuai dengan makna kasih sayang yang terdapat dalam basmalah.[24]   


F.     TAFSIR


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ [الفاتحة : 1]
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Kalimat basmalah tersebut bermakna: “Aku memulai bacaanku ini seraya memohon berkah dengan menyebut seluruh nama Allah.” Idiom “nama Allah” berarti mencakup semua nama di dalam Asmaul Husna. Seorang hamba harus memohon pertolongan kepada Tuhannya. Dalam permohonannya itu, ia bisa menggunakan salah satu nama Allah yang seusai dengan permohonannya. Permohonan pertolongan yang paling agung adalah dalam rangka ibadah kepada Allah. Dan yang paling utama lagi adalah dalam rangka membaca kalam-Nya, memahami makna kalam-Nya, dan meminta petunjuk-Nya melalui kalam-Nya.[25]
Allah adalah Dzat yang harus disembah. Hanya Allah yang berhak atas cinta, rasa takut, pengharapan, dan segala bentuk penyembahan. Hal itu karena Allah memiliki semua sifat kesempurnaan, sehingga membuat seluruh makhluk semestinya hanya beribadah dan menyembah kepada-Nya.[26]

 الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) [الفاتحة : 2]
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.


Ayat ini merupakan pujian kepada Allah karena Dia memiliki semua sifat kesempurnaan dan karena telah memberikan berbagai kenikmatan, baik lahir maupun batin; serta baik bersifat keagamaan maupun keduniawian. Di dalam ayat itu pula, terkandung perintah Allah kepada para hamba untuk memuji-Nya. Karena hanya Dialah satu-satunya yang berhak atas pujian. Dialah yang menciptakan seluruh makhluk di alam semesta. Dialah yang mengurus segala persoalan makhluk. Dialah yang memelihara semua makhluk dengan berbagai kenikmatan yang Dia berikan. Kepada makhluk tertentu yang terpilih, Dia berikan kenikmatan berupa iman dan amal saleh.[27] 

الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) [الفاتحة : 3]
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Kedua kata tersebut adalah kata sifat yang berakar pada satu kata, yaitu ar-rahmah. Secara bahasa, kata rahmat berarti kasih di dalam hati yang mendorong timbulnya perbuatan baik. Makna bahasa ini kurang tepat untuk menggambarkan sifat Allah. Karena itulah, para ulama lantas lebih sepakat untuk menyatakan bahwa kasih sayang adalah sifat yang ada dalam Dzat Allah. Kita tidak mengetahui bagaimana hakikatnya. Kita hanya menyadari efek dari sifat kasih sayang-Nya, yaitu berupa kebaikan.[28]
Banyak para ulama yang membedakan antara makna ar-Rahman dan ar-Rahim. Sifat ar-Rahman merupakan sifat kasih sayang Allah yang memberikan kenikmatan kepada seluruh makhluk-Nya. Sedangkan sifat ar-Rahim adalah sifat kasih sayang-Nya yang memberikan kenikmatan secara khusus untuk orang-orang mukmin saja. Sebagian ulama lain menyatakan bahwa sifat ar-Rahman merupakan sifat kasih sayang Allah yang memberikan kenikmatan yang bersifat umum. Sedangkan sifat ar-Rahim merupakan sifat kasih Allah yang memberikan kenikmatan yang bersifat khusus.[29]
Menurut Syekh Thanthawi Jauhari, kata ar-Rahman merupakan sifat kasih sayang Allah yang berkaitan dengan Dzat-Nya. Allah merupakan sumber kasih sayang dan kebaikan. Sedangkan kata ar-Rahim adalah sifat kasih sayang Allah yang berkaitan dengan perbuatan, yaitu bagaimana sampainya kasih sayang dan kebaikan Allah kepada para hamba-Nya yang diberi kenikmatan.[30]     

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) [الفاتحة : 4]
Yang menguasai di hari Pembalasan

Dalam ayat ini, terdapat dua macam qiraat. Ashim, al-Kisa’i, dan Ya’qub membacanya dengan  7Î=»tB, huruf mim dibaca panjang (mad). Sedangkan para qari yang lain membacanya dengan 7Î=tB, huruf mim tidak dibaca panjang (mad). Meski bisa dibaca dengan dua cara, kata tersebut memiliki makna yang sama. Sebagian ulama menyatakan bahwa kata al-Maalik atau al-Malik  bermakna Yang Maha Kuasa untuk menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada.  Tidak ada yang mampu melakukan hal itu kecuali Allah SWT. [31]
Menurut Ibnu Abbas, Muqatil, dan as-Sadi, ayat tersebut berarti “yang memutuskan di hari perhitungan.”  Menurut Qatadah, kata ad-din (الدين) berarti pembalasan. Dalam hal ini, pembalasan berlaku atas semua kebaikan dan keburukan. Sedangkan menurut Muhammad bin Ka’ab al-Qarzhi, ayat tersebut bermakna “yang menguasai hari ketika tak ada lagi yang bermanfaat kecuali agama.” Menurut pendapat lain, kata ad-din berarti ketaatan. Dengan demikian, yaum ad-din berarti hari ketaatan. [32] Saat itu, hanya ketaatan hamba kepada Tuhan yang menyelamatkannya dari siksaan neraka.
Mengapa dikatakan Allah menguasai hari pembalasan? Bukankah Allah juga menguasai semua hari? Hal itu karena pada hari pembalasan, semua kekuasaan lenyap. Tak ada kekuasaan dan pemerintahan kecuali hanya milik-Nya semata.  Hal ini sesuai dengan ayat-Nya yang lain yang berbunyi: Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan yang Maha Pemurah (QS. Al-Furqan; 26). [33]  
Kepercayaan terhadap adanya hari kiamat, hari akhir, atau hari pembalasan merupakan sesuatu yang sangat fundamental dalam Islam. Sebagaimana kata Sayyid Qutb dalam tafsirnya Fi Zhilal al-Qur’an, kehidupan masyarakat yang berpedoman dengan metode Allah yang tinggi tidak akan terwujud selama kepercayaan terhadap hari kiamat tidak ada dalam diri mereka; selama hati mereka belum betul-betul menyadari bahwa apa yang mereka dapatkan di dunia bukanlah akhir dari apa yang akan mereka dapatkan.[34]     

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) [الفاتحة : 5]
Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.


Dengan kalimat hanya kepada-Mu kami menyembah (إِيَّاكَ نَعْبُدُ), Allah membatasi penyembahan atau ibadah hanya kepada Diri-Nya semata. Dengan ayat tersebut, kita pun harus memutuskan bahwa ibadah hanyalah satu-satunya kepada Allah. Tidak boleh ibadah tersebut dikait-kaitkan dengan selain Allah. Ibadah juga merupakan bentuk ketundukan manusia kepada Allah untuk mengikuti berbagai perintah dan larangan-Nya.[35]
Shalat merupakan bentuk ibadah yang paling dasar (asasi). Dalam hal ini, sujud merupakan bentuk ketundukan yang paling tinggi kepada Allah. Hal ini karena dalam bersujud, orang menundukkan wajahnya yang notabene merupakan bagian tubuh yang paling dimuliakan. Saat bersujud, orang menempelkan wajahnya di atas lantai yang notabene merupakan tempat yang biasa diinjak-injak oleh kaki. Apalagi di dalam shalat, terutama shalat berjamaah, ketundukan seseorang kepada Allah juga dipertontonkan kepada semua orang.[36]
Meski diperintahkan untuk hanya menyembah Allah semata, manusia tetap diberi kebebasan untuk memilih, apakah sudi menyembah-Nya atau tidak; beriman atau kafir kepada-Nya; taat atau membangkang kepada-Nya. Padahal Allah bisa saja menciptakan semua makhluk-Nya jadi seperti malaikat yang hanya menyembah-Nya dan tidak pernah membangkang pada-Nya. Namun, Allah tetap memberikan kebebasan untuk memilih pada diri manusia agar manusia betul-betul menyembah Allah karena pilihannya sendiri, bukan karena paksaan. Menyembah Allah karena betul-betul menyadari sepenuhnya bahwa Allah memang layak dan seharusnya untuk disembah. Jika kesadaran itu semakin besar dan merasuk dalam hati manusia, ia pun menyembah Allah karena didasari rasa cinta kepada-Nya.
Setelah menyebutkan “hanya kepada-Mu kami menyembah”, Allah lantas menyebutkan “hanya kepada-Mu, kami meminta pertolongan”. Hal ini menunjukkan pengertian bahwa “kami tidak menyembah kepada selain Diri-Mu, dan kami tidak meminta pertolongan kecuali kepada Diri-Mu”. Permintaan tolong hanya kepada Allah akan menghindarkan kita dari hinanya kehidupan dunia. Saat kita meminta tolong kepada selain Allah, misalnya manusia, maka kita sebenarnya meminta pertolongan kepada makhluk yang memiliki berbagai keterbatasan. Manusia bisa saja memberikan pertolongan kepada orang lain sesuai kemampuan dan kekuatannya. Manusia yang saat ini mampu dan kuat boleh jadi dalam sekejap bisa menjadi orang yang sangat lemah dan tidak memiliki kemampuan apapun.
Allah bermaksud membebaskan orang-orang beriman dari hinanya kehidupan dunia. Allah pun meminta mereka agar hanya meminta pertolongan kepada Diri-Nya yang Maha Hidup dan tak pernah mati; Maha Kuat dan tak pernah lemah; Maha Kuasa dan tak bisa dikuasai oleh apapun serta siapapun. Jika kita betul-betul meminta pertolongan kepada Allah, Dia pun akan menyertai kita. Dia akan memberikan kekuatan saat kita lemah. Dia akan memberi petunjuk saat kita kebingungan memilih antara kebenaran dan kebatilan.
Ditempatkannya kalimat “permintaan tolong” (نَسْتَعِينُ) setelah kalimat “penyembahan” (نَعْبُدُ) juga merupakan bentuk pengajaran Allah kepada manusia tentang sopan santun. Allah memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya terlebih dahulu. Setelah kita beribadah kepada-Nya, barulah kita pantas untuk meminta pertolongan kepada-Nya. Dengan kata lain, sudah selayaknya, orang meminta sesuatu setelah ia terlebih dahulu mengerjakan apa yang diperintahkan. Sangat tidak pantas jika seseorang meminta segala sesuatu terlebih dahulu padahal ia belum melaksanakan apa yang diperintahkan. [37] 
       

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) [الفاتحة : 6]  
Tunjukkanlah kami jalan yang lurus,

 
Menurut Ibnu Abbas, kata “tunjukkanlah kami” (اهْدِنَا) berarti “berilah kami ilham.” Sedangkan “jalan yang lurus” (xالصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ) berarti kitab Allah. Dalam riwayat lain “jalan yang lurus” itu adalah agama Islam. Selain itu, ada juga riwayat yang menyatakan bahwa ia berarti “al-haqq” (kebenaran). Dengan demikian, menurut Ibnu Abbas lagi, kalimat “tunjukkan kami jalan yang benar” berarti “berilah kami ilham tentang agama-Mu yang benar, yaitu tiada tuhan selain Allah satu-satunya; serta tiada sekutu bagi-Nya.”[38]
Kata ash-shirath (الصِّرَاطَ) dalam ayat di atas mempunyai tiga macam cara membaca (qiraat). Pertama, mayoritas qari, membacanya dengan dengan huruf shad, sebagaimana yang tercantum dalam mushaf Utsmani. Kedua, sebagian lain membacanya dengan huruf siin, sehingga menjadi (السِرَاط).  Ketiga, dibaca dengan huruf zay (ز), sehingga menjadi (الزِراَط). [39] Sedangkan menurut bahasa, seperti dikatakan at-Thabari, kata ash-shirath (الصِّرَاطَ) berarti jalan yang jelas dan tidak bengkok.[40]
Kataاهْدِنَا  berasal dari akar kata hidayah (هداية). Menurut al-Qasimi, hidayah berarti petunjuk –baik yang berupa perkataan maupun perbuatan– kepada kebaikan. Hidayah tersebut diberikan Allah kepada hamba-Nya secara berurutan. Hidayah pertama diberikan Allah kepada manusia melalui kekuatan dasar yang dimiliki manusia, seperti pancaindra dan kekuatan berpikir. Dengan kekuatan inilah, manusia bisa memperoleh petunjuk untuk mengetahui kebaikan dan keburukan.
Hidayah kedua adalah melalui diutusnya para Nabi. Macam hidayah ini terkadang disandarkan kepada Allah, para rasul-Nya, atau Alquran. Hidayah tingkatan ketiga adalah hidayah yang diberikan oleh Allah kepada para hamba-Nya yang karena perbuatan baik mereka. Hidayah keempat adalah hidayah yang telah ditetapkan oleh Allah di alam keabadian. Dalam pengertian hidayah keempat inilah, maka Nabi Muhammad tidak berhasil mengajak sang paman, Abi Thalib, untuk masuk Islam.[41] 

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7) [الفاتحة : 7]
 (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Ayat ini merupakan penjelasan dan tafsir dari ayat sebelumnya tentang apa yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ). Jadi, yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” adalah “jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”. Sedangkan yang dimaksud dengan “jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka” adalah jalan orang-orang yang telah Allah beri anugerah kepada mereka, lalu Allah pun menjaga hati mereka dalam Islam, sehingga mereka mati tetap dalam keadaan Islam. Mereka itu adalah para nabi, orang-orang suci, dan para wali. Sedangkan, menurut Rafi’ bin Mahran, seorang tabi’in yang juga dikenal dengan nama Abu al-Aliyah, yang dimaksud dengan “orang-orang yang Engkau beri nikmat itu” adalah Nabi Muhammad dan kedua sahabat beliau, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.[42]
Selanjutnya, yang dimaksud dengan “bukan jalan mereka yang dimurkai” (غير المغضوب عليهم) adalah jalan yang ditempuh oleh orang-orang Yahudi. Mereka dimurkai oleh Allah dan mendapatkan kehinaan karena melakukan berbagai kemaksiatan. Sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat (الضالين) pada lanjutan ayat tersebut adalah orang-orang Nasrani. Tafsir bahwa orang-orang dimurkai adalah Yahudi dan orang-orang sesat adalah Nasrani sudah disepakati oleh banyak para ulama dan diuraikan di dalam beberapa hadis dan ayat-ayat Alquran sendiri.[43]

BIBLIOGRAFI



Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, at-Tafsir al-Muyassar.
Abdurrahman bin al-Kamal Jalaluddin as-Sayuthi, ad-Durr al-Mantsur, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993).
Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Taisir al-Lathif al-Mannan fi Khulash Tafsir al-Qur’an, (Saudi Arabia: Wizarah asy-Syu’un al-Islamiyah wa al-Auqaf wa ad-Da’wah wa al-Irsyad al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah, 1422 H).  
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi.
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ja’fi al-Bukhari, Al-Jami’ al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar, (Beirut: Dar ath-Thauq an-Najah, 1422 H).
Abu al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandi, Bahr al-Ulum, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.).
Abu al-Qasim Mahmud bin ‘Umar Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil, (Beirut: Dar at-Turats al-Arabi, tt.).
Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Riyadh: Dar ath-Thayyibah li an-Nasy wa at-Tauzi’, 1997).
Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi (al-Khazin), Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979).
Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000).
Ibnu Abi Hatim ar-Razi, Tafsir Ibnu Abi Hatim.
Ibnu Jazi, at-Tashil fi Ulum at-Tanzil.
Ismail bin Umar bin Katsir al-Qarsyi ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994).
Ismail Haqqi bin Musthafa al-Istambuli, Tafsir Ruh al-Bayan, (Kairo: Dar at-Turats al-Arabi, tt).
Jalaludin as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1974)
Mahmud bin Abdullah al-Husaini al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Quran wa as-Sab’i al-Matsani.
Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar, Adhwa al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
Muhammad ath-Thahir bin Muhammad bin bin Muhammad at-Thahir bin Asyur at-Tunisi, at-Tahrir wa at-Tanwir.
Muhammad bin Bahadur bin Abdullah az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1391 H).
Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim, Shahih Ibn Hibban, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1993).
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali Abu Ja’far ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, (Riyadh: Muassasah ar-Risalah, 2000).
Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Mahasin at-Ta’wil, kitab digital dalam Program al-Maktabah asy-Syamilah versi 3.13.
Muhammad Mutawalli as-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi.
Muhammad Sayyid Thanthawi, at-Tafsir al-Wasith.
Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Qur’an.






[1] Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000), juz 1, hal. 17.

[2] ‘Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi (al-Khazin), Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), juz 1, hal. 15.
[3] Muhammad bin Bahadur bin Abdullah az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1391 H), juz 1, hal. 206.

[4] Ismail bin Umar bin Katsir al-Qarsyi ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), juz 1, hal. 101.
[5] Ibid.
[6] Jalaludin as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1974), juz 1, hal. 190.
[7] Ibnu Jazi, at-Tashil fi Ulum at-Tanzil, juz 1, hal. 61.
[8] Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar, Adhwa al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz 2, ha. 315.
[9] Mahmud bin Abdullah al-Husaini al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Quran wa as-Sab’i al-Matsani, juz 1, hal. 35.
[10] Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim, Shahih Ibn Hibban, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1993), juz 5, hal. 81.
[11] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ja’fi al-Bukhari, Al-Jami’ al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar, (Beirut: Dar ath-Thauq an-Najah, 1422 H), juz 12, hal. 450.
[12] Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, juz 1, hal. 86.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Abdurrahman bin al-Kamal Jalaluddin as-Sayuthi, ad-Durr al-Mantsur, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), juz 5, hal. 165.
[16] Muhammad ath-Thahir bin Muhammad bin bin Muhammad at-Thahir bin Asyur at-Tunisi, at-Tahrir wa at-Tanwir, juz 8, hal. 203.
[17] Ibnu Jazi, at-Tashil fi Ulum at-Tanzil, juz 1, hal. 58. 
[18] Abu al-Qasim Mahmud bin ‘Umar Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil, (Beirut: Dar at-Turats al-Arabi, tt.), juz 1, hal. 45.
[19] Ibnu Jazi, at-Tashil., loc. cit.
[20] Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf., loc. cit.

[21] Ibnu Jazi, at-Tashil., loc. cit.
[22] Az-Zarkasyi, Al-Burhan., op. cit., juz 1, hal. 263.
[23] Ibid.
[24] Ismail Haqqi bin Musthafa al-Istambuli, Tafsir Ruh al-Bayan, (Kairo: Dar at-Turats al-Arabi, tt), juz 3, hal. 290.
[25] Abdurrahman bin Nashir bin as-Sa’di, Taisir al-Lathif al-Mannan fi Khulash Tafsir al-Qur’an, (Saudi Arabia: Wizarah asy-Syu’un al-Islamiyah wa al-Auqaf wa ad-Da’wah wa al-Irsyad al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah, 1422 H), hal. 10.  

[26] Ibid.
[27] Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, et.al, at-Tafsir al-Muyassar, hal. 8.
[28] Muhammad Sayyid Thanthawi, at-Tafsir al-Wasith, juz 1, hal. 1.
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Riyadh: Dar ath-Thayyibah li an-Nasy wa at-Tauzi’, 1997), juz 1, hal. 53.
[32] Ibid.
[33] Ibid.
[34] Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Qur’an, juz 1, hal. 5.
[35] Muhammad Mutawalli as-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi, juz 1, hal. 3.
[36] Ibid.
[37] Lihat, Muhammad Sayyid Thanthawi, at-Tafsir al-Wasith,  juz 1, hal. 6.
[38] Ibnu Abi Hatim ar-Razi, Tafsir Ibnu Abi Hatim, juz 1, hal. 8-9.

[39] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, op. cit., juz 1,  hal. 136.
[40] Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali Abu Ja’far ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, (Riyadh: Muassasah ar-Risalah, 2000), juz 1, hal. 170.
[41] Lihat, Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Mahasin at-Ta’wil, kitab digital dalam Program al-Maktabah asy-Syamilah versi 3.13.
[42] Abu al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandi, Bahr al-Ulum, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), juz 1, hal.43.
[43] Ibid., juz 1, hal. 44.

Tag Technorati: {grup-tag},,

Al-Fatihah: Tafsir dalam Konteks Sejarah [2]

Ada berbagai pendapat tentang pewahyuan surat ini. Sementara pakar berpendapat surat ini diwahyukan dua kali, di Mekah dan Madinah. Tetapi menurut jumhur ulama diwahyukan di Mekah pada zaman permulaan kenabian. Muhammad Izah Darwazah menempatkan pada urutan nomor lima, sesudah surat nomor 74 Almuddatstsir, wahyu ke-4. Sesudah surat Alfatihah, diwahyukan surat nomor 111, Allahab. Jadi dalam menafsirkan surat ini dalam Konteks Sejarah sekurang-kurangnya perlu memahami surat Almuddatstsir yang mendahuluinya dan surat Allahab yang mengikutinya, wahyu ke-6.

Surat Almudatstsir tak diwahyukan sekaligus, hanya bagian permulaan saja yang diwahyukan dalam urutan ke-4, tepatnya ayat pertama sampai ayat berapa, wallahu a’lam. Demikian pula surat Almuzammil yang diwahyukan dalam urutan ke-3, juga hanya bagian permulaannya tanpa diketahui secara tepat. Ada yang berpendapat bahwa kedua surat itu agaknya ‘kembar’ karena keduanya berkaitan begitu erat dalam hubungan dengan saat kedua surat ini diturunkan – yakni sesudah terjadi masa fatrarul-wahyi, terputusnya wahyu untuk sementara – serta nada dan tujuannya. Rasulullah saw. sebagai Sang Muzammil atau Orang yang berselimut dianjurkan agar menjalankan salat dan berzikir kepada Allah sebagai persiapan untuk mengemban amanat yang amat berat, lalu dalam surat 74 ini Rasulullah saw. diseru Ilahi sebagai Muddatstsir, orang yang berselubung. Masa fatrah yang terjadi selama sekitar enam bulan lamanya terasa amat berat bagi Rasulullah saw. dan beliau amat berduka cita karena waktu selang itu. Beliau menyelubungi diri dengan kain, saat itu datanglah malaikat Jibril yang memberitahu agar beliau jangan menyendiri lagi, tetapi supaya bangun dan memberi peringatan kepada bangsa yang tenggelam dalam kejahatan dan kebiadaban. Beliau dianjurkan agar senantiasa mengagungkan Tuhannya, menganggap kecil segala yang ada di alam semesta ini, dan agar membersihkan dirinya, pakaiannya, tempat tinggalnya, dari kekotoran sebagai tanda kebersihan dan kesucian cita-citanya, serta seruan untuk menjauhkan diri dari perbuatan dosa syirik dan dosa-dosa lainnya, dan dalam menjalankan tugas kerasulan hendak-nya sabar, ikhlas, dan tanpa pamrih, hanya karena ridha Allah semata.

Tak lama sesudah itu turunlah surat Alfatihah, wahyu kelima, yang diturunkan secara utuh tujuh ayat. Oleh karena itu ada yang berpendapat bahwa Alfatihah adalah wahyu yang pertama. Tentunya dalam arti yang pertama diwahyukan seutuhnya – sebagaimana surat Annashr adalah surat yang terakhir, dalam arti surat yang diwahyukan seutuhnya – karena surat-surat yang mendahuluinya hanya sebagian ayat saja, misalnya surat 96 Al’alaq yang terdiri dari 19 ayat; lima ayat pertama menurut ijma’ ulama ada-lah yang pertama diwahyukan, sedang ayat ke-6 sampai ke-19 beberapa bulan atau tahun kemudian baru diwahyu-kan setelah sebagian surat Alqalam, Almuzammil, dan Almuddatstsir serta Alfatihah. Kapan dan wahyu keberapa 14 ayat lainnya diwahyukan tak ada keterangan, wallâhu a’lam bish-shawwab.

Surat Alfatihah terdiri dari tujuh ayat. Tiga ayat pertama menerangkantentang nama diri Tuhan, Allah, dengan empat sifat utamanya, yaitu: Rabb, Rahmân, Rahîm, danMâliki yaumiddîn, yang semuanya menyatakan keagungan dan kemuliaan serta keterpujian Dzat Tuhan. Tiga ayat terakhir membeberkan hasrat jiwa manusia yang menyala-nyala di hadapan Tuhan Yang Maha-pencipta lagi Maha-pengasih dan penyayang, untuk berjalan di jalan yang benar, yaitu jalan mereka yang telah dikaruniai nikmat Ilahi, yakni para Nabi, para shiddiqin, para syuhada’, dan para shalihin, bukan jalan yang menyimpang ke kanan, sebagaimana kaum Yahudi, dan bukan pula jalan yang menyimpang ke kiri, sebagaimana kaum Kristiani. Akibat penyimpangan mereka itu kehidupan Sorgawi lewat aga-ma itu hanya sampai kepada amani atau lamunan belaka (2:111), dan Kerajaan Sorga dicabut dari mereka diberikan kepada bangsa lain (4:51-53, lihat Mat 21:42-44). Adapun ayat yang di tengah menyatakan bergantungnya manusia dalam segala hal kepada Allah SWT.
Sebagai doa, Alfatihah sangat signifikan dalam hidup dan kehidupan umat manusia. Betapa tidak. Tujuh ayatnya yang diulang-ulang oleh setiap orang Islam. Sekurang-kurangnya 17 kali setiap harinya. Ada yang membaca dengan jahar (keras) dan ada pula yang membaca dengan sirr (rahasia). Umat Kristen diajari doa ‘Bapa kami’ yang memohon datangnya Kerajaan Sorga atau Kerajaan Allah di muka bumi, yang berarti bahwa Kerajaan itu belum datang, padahal sebenarnya Kerajaan itu sudah datang, yaitu tegaknya Daulah Islamiyah yang dirintis oleh Rasulullah saw. yang kedatangan beliau oleh Almasih dilukiskan sebagai datangnya Allah sendiri (Mat 21:33-41). Oleh karena itu umat Islam sebagai warga Kerajaan Sorga mohon agar dipimpin ke jalan yang benar atau lurus, tak menyimpang ke kanan atau ke kiri yang menggelincirkan dia keluar dari Kerajaan itu.

Penghayatan yang mendalam terhadap makna yang terkandung dalam Alfatihah yang membuat Rasulullah saw. dan para sahabatnya semakin bersemangat dan kokoh mengemban amanat menyempurnakan umat manusia dengan jalan memberi peringatan kepada mereka tentang akibat buruk perbuatan mereka yang jahat sebagaimana dinyatakan dalam wahyu yang mendahuluinya, surat Almuddatstsir. Kemudian peringatan keras itu ditujukan kepada Abi Lahab yang notabene adalah julukan paman beliau sendiri, Abdul-Uzza. Peringatan yang mengandung makna profetik itu diwahyukan setelah Alfatihah di-sosialisasikan. Surat Allahab yang dalam Mushaf nomor 111 adalah wahyu yang ke-6.[]

Al-Fatihah: Tafsir dalam Konteks Kekinian [6a]

Tafsir dalam konteks sejarah dan dalam konteks ayat dan surat di atas sebenarnya tetap relevan dan signifikan dengan tafsir dalam konteks kekinian, karena Alfatihah merupakan intisari Alquran petunjuk bagi umat manusia untuk sepanjang zaman di mana saja ia berada. Signifikasi hidayah Alfatihah dewasa ini terutama sebagai surat permohonan (sûratud-du’â’) dibagi menjadi dua bagian yang saling berhubungan. Rasulullah saw. bersabda:
 “Tidaklah pernah Tuhan menurunkan sebuah kitab seperti Alfatihah yang tujuh ayatnya ini, baik dalam Injil maupun dalam Taurat, dan Allah Ta’ala berfirman bahwa surat ini terbagi antara Aku dan hamba-hamba-Ku dan mereka yang berdoa serta mengamalkan isi surat itu pastilah Kuterima dan Kuwujudkan kehendak mereka” (H. R. Nasa’i dari Ubay bin Ka’ab r.a.).
Kedua bagian itu, pertama mengenai aspek Tuhan, kedua mengenai aspek insan, baik secara individual maupun kolektif. Keduanya saling berhubungan. Hubungannya sebagai berikut:
Mengenai Tuhan             Mengenai Insan
Alhamdu lillâhi                      Iyyâka na’budu
Rabbil ‘âlamîn                        Iyyâka nasta’în
Arrahmâni                               Ihdinashshirâtal mustaqîm
Arrahîmi                                   Shirâtalladzîna an’amta ‘alaihim
Mâliki yaumiddîn                  Ghairil-maghdhûbi ‘alaihim waladhdhâllîn
Khawaja Kamaluddin, seorang muballigh dari “The Woking Muslim Mission” London yang pernah berkunjung ke Surabaya (1921), dalam bukunya The Secret of Existence or The Gospel of Action yang telah diterjemahkan oleh H. M. Bachrun dengan judul “Rahasia Hidup”, menjelaskan, “bahwa tiap-tiap doa atau permohonan itu harus terdiri dari tiga syarat. Yang pertama, kita harus alamatkan kepada penjabat yang sesuai dengan sifat permohonan kita. Umpamanya, dan ini sering terjadi, satu orang merangkap jabatan sebagai penguasa urusan sipil dan kriminal. Jika sekiranya perkara kita itu sifatnya kriminal, kita harus mengalamatkan sebagai mangistrat; akan tetapi jika perkara kita itu sifatnya sipil, maka alamatnya sebagai hakim. Syarat kedua, kita harus menyatakan kedudukan kita sebagai pemohon. Dan setelah itu, (syarat ketiga, –pen.) baru kita mengemukakan permohonan kita yang sebenar-benarnya di muka pengadilan. Tepat ketiga syarat itu dibeberkan dalam surat Alfatihah” ( hal. 76). Kita alamatkan Tuhan yang telah menyatakan nama diri-Nya adalah Allah, dengan sebutan empat sifat utamanya Rabb, Rahmân, Rahîm, dan Mâliki yaumiddîn. Kita sebagai pemohon di hadapan-Nya menyatakan:
“Ya Allah Tuhan kami, tak ada Tuhan selain Engkau. Segala puja dan puji adalah milik Engkau. Alhamdulillâh. Demikian pula keagungan, kemuliaan, keindahan, kebai-kan dan sesamanya. Firman Engkau walillâhil-asmâ’ul-husna benar-benar kami sadari maknanya, bahwa segala keagungan, kemuliaan, keindahan dan kebaikan yang ada di dunia ini hanyalah refleksi belaka dari keagungan, kemuliaan, keindahan dan kebaikan Engkau. Seseorang atau suatu bangsa menjadi besar, jaya dan terhormat hanyalah karena kodrat dan iradat Engkau, demikian pula mereka yang runtuh dan binasa. Tiada kami dapati sesuatu yang terpuji, baik di langit dan di bumi, melainkan itu semuanya adalah pancaran wajah Engkau juga, karena fitratallâhil-latî fatharan-nâsa ‘alaihâ, fitrah Allah yang Allah menciptakan manusia atas itu. Manusia diciptakan dengan karunia sifat-sifat yang menyerupai sifat-sifat Engkau, ya Allah. Potensi inilah wahai Tuhan, yang men-jadikan kami pantas menjadi mazhar Engkau.
Maka dari itu ya Allah Tuhan kami, iyyâka na’budu, hanya kepada Engkau kami mengabdi. Kaulah yang bebas dari cacat dan cela. Kami lemah tiada berdaya ya Allah, apalah artinya hidup di dunia ini, kalau kami tidak mencari keridhaan Engkau dan menumbuh-kembangkan sifat-sifat Engkau dalam diri kami? Bukankah Engkau telah menyatakan bahwa wamâ khalaqtul-jinna wal-insa illâ liya’-budûn? Tidaklah Aku ciptakan jin dan mnausia melainkan supaya mengabdi kepada-Ku? Ya, Allah Tuhan kami, lewat pengabdian kami inilah kiranya Engkau berkenan melimpahkan rahmat dan karunia yang mendorong kami ke arah kemajuan menumbuh-kembangkan sifat-sifat Engkau yang telah tertanam dalam diri kami yang notabene adalah kewajiban asasi kami dan sekaligus menjadi hak asasi sesama kami.
Ya Allah Tuhan kami, permohonan kami itu hanyalah kami tujukan kepada Engkau, karena Engkau adalah Rabbul’âlamîn, Tuhan serwa sekalian alam. Engkau ada-lah Yang menciptakan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, lalu menyempurnakan dan menakdirkan lalu membimbing ke arah kesempurnaan masing-masing ciptaan. Tidak terbatas pada alam manusia, tetapi juga alam: ma’adini, nabati, hewani dan arwahi. Tidak ada batu, pohon, binatang dan manusia, baik bangsa Barat maupun Timur yang tidak merasai limpahan rububiyah Engkau. Kami sadar ya Rabbanâ, tak ada diskriminasi antar umat manusia di hadapan Engkau. Di hadapan Engkau, keting-gian martabat itu bukan karena pangkat, asal-usul, posisi dan tempat tinggalnya, melainkan karena usaha keras yang tiada habis-habisnya untuk menjelmakan sifat rububiyat Engkau dalam segala seginya. Segala yang lahir dan yang batin hidup oleh rububiyat Engkau, sebab segala ini adalah sibghah daripada Engkau, Rabbul’âlamîn.
Oleh karena itu ya Allah, wa iyyâka nasta’în, hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan. Ajarilah kami ilmu menumbuhkan sifat-sifat rububiyat Engkau itu agar kami dapat menyempurnakan diri kami, mengatur rumah-tangga kami dan menyusun masyarakat kami sebaik-baiknya. Ajarilah kami hikmat menyelesaikan soal demi soal dunia dan diri kami sendiri. Kesanilah kami dengan kemauan yang padu, benar-benar menjadi pendukung sifat-sifat Engkau yang mulia, wahai Tuhan! Sudah amat terlibatlah kami, Tuhan, dalam macam-macam soal, sehingga nampak-nampaknya kepala kami akan pecah menzarrah. Setiap dari kami manusia, Rabbanâ, sudah mempunyai soal tersendiri pula di samping soal-soal kami sebagai umat – soal material, moral dan spiritual – wahai Tuhan, jernihkanlah fikiran kami, lapangkanlah dada kami dan kuatkanlah gerak dan langkah kami untuk menjadi mazhar sifat rububiyat Engkau itu ya Rabbanâ…!
Ya Allah Tuhan kami, Engkau adalah Arrahmân, Yang Maha-pemurah, yakni Yang melimpahkan segala kebutuhan insan yang kebutuhan itu telah Engkau limpah-kan sebelum ada usaha insan, bahkan sebelum insan lahir dari rahim ibunya. Telah Engkau sediakan bagi setiap bangsa suatu tanah air dan tempat kediaman tanpa usaha dari bangsa itu terlebih dulu. Demikian pula untuk setiap orang. Udara dan cahaya, tanah dan air, bahan kehidupan dan keperluan, sejak dari rahim ibunya sampai hadir di muka bumi ini telah Engkau sediakan secara cuma-cuma, bukan karena permohonan dan bukan pula karena balas jasa. Wain ta’uddû ni’matallâhi lâ tuhsûhâ, dan jika engkau mencoba menghitung nikmat-nikmat Allah, engkau tak dapat menjumlahkannya (14:34; 16:18) adalah firman Engkau yang menjelaskan betapa banyak tak terbilang rahmaniyat Engkau yang telah Engkau limpahkan kepada kami.
Maka dari itu, ihdinash-shirâtal-mustaqîm, pimpinlah kami ke jalan yang benar, ke jalan yang lurus. Jalan yang menuju ke arah tujuan kejadian kami dan kehidupan kami ini. Betapa banyak rahmaniyat Engkau untuk menyem-purnakan diri kami sesuai dengan takdir dan fitrah kami. Tanpa bimbingan dan pimpinan Engkau kami tak akan mampu menempuh jalan lurus, karena kami ini lemah. Seringkali kami terbelit dalam cita dan amal yang kami wujudkan sendiri, bahkan terpengaruh pula oleh cita dan amal orang lain. Oleh sebab itu wahai Tuhan, tunjuk-kanlah kepada kami jalan keluar dari berbagai macam persoalan dan kesulitan, karena kami sering menyukai sesuatu ternyata itu tidak baik bagi kami dan sering pula membenci sesuatu rahmaniyah Engkau, padahal itu sebenarnya justeru yang baik bagi kami.
Ya Allah Tuhan kami, Engkau adalah Arrahîm, Yang Maha-penyayang. Engkaulah yang membalas perbuatan baik hamba yang tak seberapa dengan balasan yang berlipat ganda. Karena rahmaniyat Engkau ya Allah, banyak bangsa menjadi jaya di muka bumi ini. Mereka sukses mendayagunakan alam semesta. Dapat menyelam dalam laut yang dalam bagaikan ikan, dan dapat beter-bangan di angkasa raya bagaikan burung. Berkat rahimiyat Engkau ya Allah, kami akan dapat mempertahankan maqam sebagai ahsani taqwîm, baik secara jasmaniah maupun rohaniah, sehingga kami benar-benar menjadi khalifah Engkau di muka bumi ini. Sebagai khalifah Engkau ya Tuhan, kami insyaallah akan tetap dan terus-menerus dalam kodrat dan iradat Engkau, tidak pernah lena dan lalai memelihara keselarasan dan menyempurna-kan alam semesta ini, baik dalam arti makro maupun mikro, makrokosmos dan mikrokosmos.
Oleh karena itu ya Allah, yang kami mohon ialah shirâthalladzîna an’amta ‘alaihim, jalan orang-orang yang telah Engkau karuniai kenikmatan pada zaman yang silam. Mereka telah Kau karuniai dengan kenegaraan dan kena-bian. Antara lain kami ingat Tuhan, kepada ucapan Nabi Musa a.s.: “Hai kaumku, ingatlah nikmat-nikmat Tuhan kepada kamu, bila dijadikan-Nya di antara kamu para Nabi dan para pengendali pemerintahan kenegaraan, dan dilimpahkan-Nya kepada kamu hal-hal yang tak dinikmati oleh umat yang lain”. Wahai Tuhan, jadikan jugalah kami seperti mereka yang telah Kau limpahi nikmat dan karunia. Tetapkanlah langkah dan cita kami di lingkungi hidayah-wahyu Engkau, sehingga kami pantas menjadi golongan mereka yang Kau karuniai nikmat hakiki, yaitu para nabi, para shidiqin, para syuhada’ dan para shalihin.
Ya Allah Tuhan kami, Engkau adalah Mâliki yaumid-dîn, Yang memiliki hari pembalasan. Engkau pasti meng-hisab segala sesuatu yang telah kami lakukan dan lalaikan. Meski Engkau telah banyak melimpahkan ampuan dan maghfirah, karena Engkau adalah Ahlul-maghfirah, tapi kami adalah hamba Engkau yang lemah, yang kelemahan itu sering mendorong kami melebihi batas menyempitkan atau mengkhususkan sifat-sifat Engkau demi kepentingan diri kami sendiri, sebgaimana telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu, misalnya kaum Yahudi yang telah ber-usaha membunuh utusan Engkau yang mulia, Isa Almasih, atas nama Engkau. Atau umat Kristen, yang demi cinta dan hormat mereka kepada Isa Almasih (Yesus Kristus), mengangkat beliau sebagai Tuhan di samping Engkau.
Maka dari itu, dengan rendah hati dan kesadaran yang mendalam, yang kami mohon ialah ghairil-maghdlûbi ‘alaihim waladhdhâllîn, bukan jalan orang-orang yang mendapatkan murka Engkau dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat dari jalan yang benar, yang karena kesesatan mereka Engkau haramkan sorga bagi mereka. Ya Allah Tuhan kami, Engkau adalah Rabbul’âlamîn. Kami yakin bahwa Engkau telah menciptakan segala sesuatu yang sangat kami perlukan bagi pemeliharaan dan evolusi kami ke arah kesempurnaan. Engkau telah menciptakan alat-alat yang diperlukan untuk memenuhi kebu-tuhan kami, karena Engkau adalah Arrahmân. Engkau juga Arrahîm, maka tiap-tiap usaha dari pihak kami akan mendapat ganjaran berlipat-lipat, segera setelah kami menggunakan apa yang telah Engkau karuniakan kepada kami. Di samping itu kami pun tahu bahwa kami tidak layak untuk menerima rahmat Engkau sebagai Arrahîm, terkecuali jika kami berusaha mati-matian. Kami pun yakin bahwa Engkau adalah Mâliki yaumiddîn, Yang memiliki Hari Pembalasan, akan menghisab segala sesuatu yang telah kami lalaikan atau kami jalankan. Kami telah mencoba sebaik-baiknya semua alat dan kemampuan kami untuk mencapai suatu tujuan, kini kami datang bersembah sujud kepada Engkau wahai Tuhan, untuk mengisi kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan yang masih terdapat dalam usaha-usaha kami. Akan tetapi apa yang kami mohon itu hanya jalan yang benar, bukan jalan yang mengundang murka Engkau dan bukan pula jalan mereka yang tersesat dari jalan yang benar. Wahai Tuhan, hanya Engkaulah yang mampu membersihkan diri kami dari dosa dan melindungi kami dari segala bencana di dunia ini, karena Engkau penguasa sejati alam semesta ini. Walhamdulillâhi rabbil’âlamîn.”[]

Al-Fatihah: Tafsir Teks dan Konteks Ayat 1 [3]

Ayat pertama, Alhamdu lillâhi rabbil ‘âlamîn, yang biasanya diterjemahkan segala puji bagi Allah, Tuhan serwa sekalian AlamDalam ayat ini ada empat kata kunci, yaitu: alhamd, Allah, Rabb, dan al’âlamîn.
Kata alhamd, segala puji yang dipakai oleh Allah SWT, bukan kata syukur, madah dan tsana. Syukur berarti menyatakan terimakasih untuk segala macam karunia yang telah diterima; tsana menunjukkan pikiran terimakasih supaya diumumkan, dan madah mengandung arti pujian yang diwujudkan bukan dengan ikhlas, seperti dalam sabda Rasulullah saw. “Ihsu’turaba fi wujuhil-madahina” artinya “Curahkanlah abu di muka orang-orang yang memuji dengan rasa palsu!” Hamd mengandung arti bukan hanya terimakasih untuk segala macam pemberian, tetapi juga mengenai sifat-sifat yang benar-benar terpuji. E. W. Lane dalam kamus Arabic-English-nya menerangkanbahwa hamd “mengandung arti takjub, meluhurkan dan memuliakan sesuatu yang dipuji, sedangkan yang memuji itu merasa suatu kesediaan akan menyerahkan diri, sifat rendah dan tadarru”. Maulana Muhammad Ali menjelaskan bahwa “Kata sandang al dalam al-hamd adalah li istighrâqil jinsi, artinya melingkupi semua jenis (AH), dan menunjukkan bahwa segala jenis puji termasuk di dalamnya”. Maka dari itu tepat sekali jika dirangkai dengan lillâhi, bagi atau milik Allah, alhamdu lillâh. Segala sesuatu yang dipuji karena kebesaran, keagungan, keindahan dan sesamanya hanyalah refleksi keterpujian Dia belaka. Alam semesta adalah kaca kristal keterpujian-Nya (27:44).
Kata Allâh, menurut pendapat yang paling betul adalah nama diri suatu Dzat yang wajib maujud dengan sendiri-Nya, Yang meliputi segala sifat kesempurnaan (T-LL). Kata Allâh adalah ismu a’zham atau nama yang paling mulia. Juga nama yang Esa, sebab: (1) Tak pernah digunakan untuk menamakan sesuatu barang selain Dia Yang Hidup kekal selama-lamanya, alhayyul-qayyûm. Bangsa Arab tak pernah menggunaan kata itu untuk menamakan salah satu sesembahan, dewa atau berhala mereka. (2) Dalam bahasa manapun tak ada yang semakna dengan kata itu. Nama-nama dalam bahasa lain dalam melukiskan Tuhan adalah deskriptif atau atributif dan sering mengandung arti banyak, misalnya dalam agama Kristen menyebut Bapa, Arabnya Ab, lafazh Ab mengan-dung arti “kelamin jantan yang istirahat setelah bekerja”, maka menurut Alquran “Allâhu lâ ilâha illâ huwal-hayyul-qayyûm lâ ta’khudzuhû sinatun walâ naûm” artinya “Allah, tak ada Tuhan selain Dia, Yang Hidup, Yang Maujud sendiri, yang sekalian makhluk maujud karena-Nya. Dia tak terkena kantuk dan tak pula tidur” (2:255), padahal “setiap saat Dia mencipta” (55:29), “Ia menambah ciptaan apa yang Ia kehendaki” (35:1). (3) Kata Allâh adalah isim jamid, bukan gubahan dari kata lain. Kata Allâh bukanlah terjadi dari al + ilâhu seperti banyak dikemukakan oleh para orientalis. Buktinya, kata ilâhun itu bentuk singular (mufrad) yang dapat digubah menjadi dual (tatsniyah) dan plural (jamak), sedang kata Allâh tak mengenal perubahan itu. Menurut Alquran selain kata Allâh yang dikenakan kepada Dia adalah asmâ’ush-shifât, nama-nama sifat yang disebut al-asmâ’ul-husnâ (nama-nama yang baik) atau almatsalul-a’la (sifat-sifat kemuliaan) (16:60; 30:27). Maka dari itu perlu diterjemahkan, sedang kata Allâh tak boleh diterjemahkan karena nama Diri (proper name).
Kata rabb biasanya diartikan Tuhan, sebenarnya tidak tepat. Dalam bahasa Indonesia atau Jawa tak ada pada-nannya. Alquran sendiri menjelaskan: “Mahasucikanlah Rabb engkau Yang Maha-tinggi, Yang menciptakan lalu menyempurnakan, dan Yang menakdirkan, lalu memimpin (ke tujuan penyempurnaannya)” (87:1-3). Dari ayat ini terang sekali bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah, pasti berangsur-angsur berkembang menuju kesempurnaannya, dan inilah perbuatan Allah yang disebut khalq dan taswiyah (87:2). Ayat selanjutnya menerangkan bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah, pasti diberi kemampuan-kemampuan yang sudah tertanam (inhaerent) dalam kodratnya dan untuk memperkembangkan kemampuan-kemampuan itu, Allah memberikan petunjuk agar ciptaan itu dapat mencapai tujuan penciptaan atau kesempurnaannya, dan inilah manifestasi perbuatan Allah yang disebut taqdîr dan hidâyah. Oleh karena itu, Rabb artinya Yang menciptakan segala sesuatu, Yang tidak saja memberikan mata penghidupan dan pemeliharaan, melainkan pula memberikan kemampuan-kemampuan yang sudah tertanam dalam kodratnya, dan dalam lingkungan kemam-puan ini Dia menyediakan syarat-syarat agar meneruskan perkembangannya setapak demi setapak hingga mencapai puncak kesempurnaan. Jadi sifat Rabb ini mengisyaratkan adanya hukum evolusi yang bekerja di alam semesta. Semua ciptaan Allah pasti tunduk kepada hukum ini. Biji beringin yang tidak seberapa besarnya itu di dalamnya sudah diberi kemampuan-kemampuan yang jika dipenuhi syarat-syaratnya akan berkembang setapak demi setapak hingga menjadi pohon beringin yang megah dan rindang. Demikian pula halnya ciptaan Allah lainnya, semuanya tunduk kepada hukum yang sifatnya universal ini. Hukum ini permanen, tak ada perubahan (33:62; 35:43).
Akhirnya kata al’alâmîn, adalah bentuk jamak kata ‘alam, yaitu barang yang karenanya orang tahu akan sesuatu. Alam atau ciptaan, yang karenanya orang tahu akan Penciptanya, Allah SWT. Maka âlamîn berarti seluruh alam semesta, meliputi alam ma’adini, alam nabati, alam hewani, alam insani, dan alam ruhi; ada yang nyata dan ada yang gaib. Unsur-unsurnya: material atau keben-daan, biologis, mental, dan spiritual. Dalam arti terbatas kata ‘alam’ dikenakan kepada suatu golongan atau bagian makhluk atau bagian umat manusia, misalnya bangsa (2:47).
Al’âlamîn atau alam semesta pada hakekatnya adalah “shun’ullâh, perbuatan atau aktivitas Allah, Yang membuat tiap-tiap sesuatu dengan teliti atau sempurnanya” (27:88) dan “dengan indahnya” (32:7), yang cara-cara bekerjanya disebut sunnatullâh, kebiasaan Allah (35:43; 48:23), maka dari itu alam semesta merupakan suatu bina’ atau struktur (2:22), suatu kesatuan dalam kebanyak-ragaman, suatu unitas multiplex. Dengan perkataan lain, alam semesta menunjukkan adanya organisasi, bukan kekacauan (67:1-4). Dasar umum alam semesta yang homogen menurut satu hukum pokok yang sifatnya umum dan evolusioner kreatif atau Rububiyah adalah Daya Ilahi yang oleh Alquran disebut nafs atau rûh. Daya Ilahi itu bekerja dengan tiada henti pada berbagai tingkat evolusi yang menggerakkan dan mengarahkan sekalian proses di alam semesta kepada satu tujuan, yaitu kesempurnaan dan akhirnya kepada Allah SWT (2:210; 3:109; 57:5). Jadi dalam evolusi kreatif itu tiap-tiap ciptaan merupakan penjelmaan khusus dari Daya Ilahi yang masing-masing mempunyai tempat kedudukan sendiri – yang satu lebih tinggi dari yang lain, organisasinya kian lama kian rumit – dan berdasarkan tempat kedudukan masing-masing melak-sanakan peranannya ikut serta menyumbangkan bagiannya dalam mewujudkan Rencana Ilahi. Demikianlah nafsul-ma’adîni dalam ‘âlamul-ma’adîni (alam kebendaan), nafsul-hayâtî dalam ‘âlamun-nabâtî (alam tumbuh-tumbuhan), rûhul-hayawânî atau ahawâ dalam ‘âlamul-hayawânî (alam hewani) dan rûh Ilâhi dalam ‘âlamul-insî (alam insani), masing-masing adalah Daya Ilahi yang mengkhususkan diri bagi perwujudan nilai-nilai abadi dengan perbuatan pada berbagai tingkat evolusi itu. Subhânallâhi, walhamdu lillâhi wallâhu akbar. Semua itu diciptakan Allah supaya didayagunakan oleh manusia sebagai alat untuk menyelesaikan pembentukan diri (self-development), perkembangan diri (self-creation) atau penyempurnaan diri (self-perfection) manusia (91:7-10; 87:14; 79:40). Hal ini berarti bahwa manusia adalah ciptaan yang belum selesai atau belum sempurna, meski ia merupakan ahsani taqwim, ciptaan yang paling baik (95: 4). Bagaimana cara menyempurnakan diri? Ayat berikut-nya memberikan petunjuk: “Yang Maha-pengasih, yang Maha-penyayang”.[]


Al-Fatihah: Tafsir Teks dan Konteks Ayat 2 dan 3 [4]

Ayat kedua, arrahmânir-rahîm. Di sini Rububiyah Ilahi, yakni perbuatan Ilahi memelihara, mengatur, dan memimpin ciptaan-Nya ke arah kesempurnaan – termasuk manusia – dinyatakan dengan dua kata, Arrahmân dan Arrahîm. Keduanya berasal dari kata rahmat yaitu riqqatun taqtadil-hisâna ilal marhûm, kelembutan hati atau kasih sayang yang diikuti perbuatan baik terhadap yang disayangi. Digubah menjadi Rahmân – mengikut wazan fa’lân untuk menunjukkan tingkat perbandingan yang tertinggi – berarti rahmat yang tertinggi, Yang Maha-pengasih. Artinya, Kasih-sayang-Nya demikian besar, sehingga Dia telah menciptakan dan menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh semua makhluk, yang sesuatu itu telah diciptakan sebelum adanya, yang diciptakan dan disediakan, bukan karena permohonan dan bukan pula karena balas jasa, agar setiap ciptaan-Nya dapat mempertahankan dan menyempurnakan dirinya. Bagi manusia, untuk menyempurnakan jasmaninya Allah telah menciptakan alam semesta, sedang untuk menyempurnakan rohaninya Allah menciptakan malaikat, jin dan setan, serta menurunkan agama dan wahyu-Nya yang berisi Pedoman hidup yang tepat untuk menyempurnakan dirinya.
Arrahîm – mengikuti wazan fa’îl, yang menunjukkan bahwa perbandingan tingkat tertinggi itu dawâm, langgeng – berarti rahmat Ilahi yang tertinggi itu tak putus-putusnya diulangi, Yang Maha-penyayang, yakni Yang mengganjar perbuatan baik manusia yang tak seberapa dengan gan-jaran yang berlipat ganda. Barangsiapa belajar ia pandai, barangsiapa menanam ia panen, barangsiapa berlatih ia terampil; kepandaian, panenan, dan keterampilan adalah rahimiyah Ilahi. Perbuatan kasih-sayang Ilahi yang dinyatakan dengan kata Rahim merupakan primium mobile, motor penggerak untuk melakukan kebaikan, karena tak ada perbuatan baik yang sia-sia tak berbalas.
Rasulullah saw. bersabda, bahwa Arrahmânu rahmânud-dunya, warrahîmu rahîmul-âkhirah, artinya “Ar-rahmân ialah Tuhan Yang Maha-pengasih yang kasih-sayang-Nya dinyatakan dengan menciptakan seluruh alam semesta, sedang Arrahîm ialah Tuhan Yang Maha-penyayang, yang kasih sayang-Nya dinyatakan dalam keadaan yang kemudian” (AH). Kata âkhirah tidak hanya berarti akhirat pasca dunia, tetapi dapat pula berarti akhir atau kemudian, lawannya awal; dalam hadits tersebut berarti akibat perbuatan yang telah dilakukan. Akibat itu bisa dinikmati di dunia ini atau di akhirat nanti. Perbedaan antara keduanya, Arrahmân bertalian dengan kehidupan di dunia ini, sedang Arrahîm umumnya bertalian dengan kehidupan yang akan datang; artinya, karena dunia ini pada umumnya adalah dunia perbuatan, dan karena alam akhirat itu suatu alam di mana perbuatan manusia akan diganjar dengan cara istimewa, maka sifat Tuhan Arrahmân mengaruniai manusia alat dan bahan untuk melaksanakan pekerjaannya dalam kehidupan di dunia ini, dan sifat Tuhan Arrahîm mendatangkan hasil dalam kehidupan yang akan datang. Rahmaniyah adalah segala benda yang kita perlukan, dan atas nama kehidupan kita bergantung, adalah semata-mata karunia Ilahi, dan sudah tersedia untuk kita sebelum kita berbuat sesuatu, yang menyebabkan kita layak untuk menerimanya, atau bahkan sebelum kita dilahirkan; sedang Rahmaniyah adalah segala karunia yang tersedia untuk kita dalam kehidupan yang akan datang akan dianugerahkan kepada kita sebagai ganjaran atas amal perbuatan kita. Hal itu menunjukkan bahwa Arrahmân itu Pemberi Karunia, yang mendahului kita, sedang Arrahîm itu Pemberi Nikmat-nikmat yang mengikuti amal perbuatan kita seabgai ganjarannya. Atau singkatnya Arrahman yang mengaruniai bahan mentah, sedang Arrahim yang mengaruniai barang jadi. Akan lebih lengkap jika tulisan Soedewo P. K. kita simak: “Arrahmân ialah Allah sebagai Pencipta makhluk-makhluk-Nya, berangsur-angsur dari tingkat ke tingkat, sedangkan Arrahîm ialah Allah sebagai Penunjuk jalan dan Pemimpin pada jalan yang mengarah kepada kemajuan, kebaikan, keindahan, dan kesempurnaan” (Intisari Qur’an Suci, hal. 40).
Kendati demikian, banyak orang yang tidak suka menerima Pedoman Hidup Tuhan sebagai Arrahman, apalagi melaksanakannya. Orang semacam ini tak akan menemui Tuhan sebagai Arrahim, melainkan Tuhan sebagai Mâliki yaumiddîn, Yang memiliki hari pembalasan. 
Ayat ketiga terdiri tiga kata: mâliki, yaum dan addîn. Biasanya kata Mâlik diterjemahkan Raja dalam bahasa Indonesia, sebenarnya tidak tepat. Karena di sini ada imbuhan huruf alif dalam kata malik, sehingga ma dibaca panjang mâliki, bukan maliki (ma dibaca pendek). Antara keduanya berbeda, meski akar katanya sama. Mâlik (yang pertama) berarti Yang memiliki, sedang malik (yang kedua) berarti raja. Digunakannya kata Mâliki atau Yang memiliki, ini menunjukkan bahwa Allah bukanlah tak adil jika Ia mengampuni hamba-Nya yang berdosa, karena Ia bukan raja atau hakim yang terikat oleh hukum, melainkan lebih dari itu, yaitu Yang-memiliki, Mâliki.
Kata yaum, seperti diterangkan oleh Maulana Muhammad Ali, bahwa “dalam bahasa Arab digunakan untuk menerangkan jangka waktu, dari satu detik (55:29) sampai seribu tahun (32:5) atau limapuluh ribu tahun (70:4), bahkan waktu yang keliwat pendek atau keliwat panjang. Menurut LL,yaum adalah waktu, baik siang atau malam; waktu yang tak terbatas, baik malam atau bukan, sebentar atau tidak; juga berarti hari, artinya, jangka waktu mulai matahari terbit sampai matahari terbenam. Menurut Raghib, kata yaum berarti waktu, waktu apa saja, dan makna ini adalah yang paling tepat. Oleh karena dalam Qur’an banyak diterangkan bahwa undang-undang pembalasan Allah, bekerja setiap saat, dan tak ada satu ayat pun yang membenarkan pengertian bahwa undang-undang pembalasan tak akan dijalankan sebelum datangnya hari yang ditentukan, maka undang-undang pembalasan yang diisyaratkan dalam ayat ini, merupakan undang-undang yang senantiasa bekerja; adapun Hari Kiamat adalah hari perwujudan yang sempurna dari undang-undang itu. Sebenarnya, Yang memiliki Hari pembalasan itu artinya Yang memiliki undang-undang Pembalasan, karena, undang-undang itu bekerja setiap saat”. Selanjutnya beliau menerangkan: “Kata din mempunyai dua makna, pemba-lasan danagama, berasal dari kata dâna artinya mem-balas, mengadili, mematuhi (LL). Dengan melukiskan Allah sebagai Yang memiliki Hari Pembalasan, Alquran menekankan di satu pihak, adanya kenyataan bahwa undang-undang Allah tentang pembalasan, bekerja setiap saat, dengan demikian, membuat manusia mempunyai rasa tanggungjawab atas perbuatan yang mereka lakukan; dan di lain pihak, mengutamakan sifat pengampunan sebagai sifat utama Allah, sehingga undang-undang pembalasan bukanlah seperti hukum alam yang tegar, melainkan seperti perlakuan Dzat Yang memiliki, yang pada hakekatnya ialah Yang Maha-pengasih lagi Maha-penyayang, seperti telah diterangkan di muka. Penempatan sifat Mâliki yaumiddîn sesudah dua sifat Rahman dan Rahim, ini dimaksud untuk menunjukkan bahwa sifat Mâliki yaumiddîn itu sama pentingnya dengan sifat Rahman dan Rahim dalam menyempurnakan diri manusia secara evolutif (Rububiyah). Kemurahan Allah (Arrahmân) diperuntukkan bagi sekalian manusia; Kasih-sayang Allah (Arrahîm) diperuntukkan bagi manusia yang menerima Kebenaran disempurnakan melalui undang-undang pembalasan (Mâliki yaumiddîn). Kadang-kadang hukuman mereka berupa kesusahan dan kesengsaraan di dunia, akan tetapi bentuk hukuman yang sesungguhnya akan dibuktikan pada Hari Kiamat. Baik kesengsaraan di dunia maupun neraka di akhirat, ini sebenarnya adalah tindakan penyembuhan untuk membinasakan penyakit rohani, dan untuk membangkitkan kehidupan rohani manusia.
Selanjutnya, hendaklah diingat bahwa Mâliki yau-middîn dapat pula diterjemahkan Dzat Yang memiliki hari Agama, dalam arti bahwa kebangkitan rohani akan dilaksanakan berangsur-angsur di dunia, sehingga akhirnya sebagian besar manusia akan mengakui kebenaran agama. Sebenarnya, hukum evolusi bekerja pula di alam rohani sebagaimana hukum itu bekerja di alam fisik.
Allah adalah Mâliki yaumiddîn, Yang memiliki Hari Pembalasan berarti Dia bukanlah Tuhan Yang memaksakan kepada manusia suatu beban atau kewajiban yang tak dapat dipikulnya (7:42-43), bukan pula hakim yang harus berpegang teguh kepada undang-undang dan hanya dapat menimbang menurut keadilan, tetapi tak dapat memberi ampun. Dia adalah Yang memiliki pembalasan lagi Maha-bijaksana; karena itu: Dia mengampuni dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan hamba-hamba-Nya dengan ampunan yang Maha-besar, sebab Dia adalah Ahlul-maghfirah, Yang patut memberi ampun, sekalipun manusia tak memohonnya (74:56); atau memberi waktu (istidrâj) kepada hamba-hamba-Nya yang berdosa untuk memperbaiki hi-dupnya dengan penuh keadilan dan tanpa meminta korban sebagai tebusan (35:37); atau melakukan pembalasan yang setimpal dengan dosa dan pelanggaran hukum yang telah dilakukan, atau bahkan kemunduran untuk sementara waktu.
Singkatnya, tak ada satu perbuatan pun, baik atau jahat, tanpa akibat mengadakan perubahan yang halus sekali pada kepribadian kita (10:63; 34:3). Jika manusia tak melihatnya dalam kehidupan di dunia ini, maka di akhirat pun masih ada ‘hari pembalasan’. Tiap-tiap jiwa bertanggungjawab atas apa yang diperbuatnya (6:52; 52:21), dan “tiada pemikul beban memikul beban orang lain” (6:165; 53:38). Manusia tak mungkin melakukan pelanggaran hukum Ilahi tanpa memperlakukan jiwanya tak adil (65:1; 69:25-32) dan tanpa menghukum dirinya sendiri (30:9, 10), sebab dia tak dapat menyembunyikan atau melarikan diri dari akibat perbuatan pada jiwanya (17:13-14). Sekalipun kesalahannya tak diketahui orang lain atau dia menutup-nutupi, memperkecil atau memperelok-elok kejahatannya – misalnya dengan dalih “kebanyakan orang berbuat begitu, mengapa saya tidak?” – namun struktur fitriah jiwanya demikian rupa sehingga dalam batinnya selalu ada yang mengusahakan agar dia dihukum juga tanpa disadarinya (36:4). Dalam beberapa hal, misalnya jika ada penyesalan mendalam akan suatu pelanggaran yang telah dilakukannya (2:167) atau jika dia dalam keadaan merana karena kesedihan (14:17) atau jika dia menurut hawa nafsunya saja, sehingga akhirnya ada dalam belenggu kejahatan (2:81), maka perbuatannya itu dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh yang sama sekali tak mungkin disadarinya, karena proses-proses itu berlangsung dalam akhfâ’, yaitu dalam apa yang lebih tak mungkin lagi ditangkap dengan indera-indera (20:7) dan mengakibatkan bangkitnya bermacam-macam penyakit, misalnya: rasa khawatir atau takut yang tak karuan, gelisah, kurang percaya diri, sakit-sakitan, aktifitas melemah, dan sesamanya, yang hanya dapat diatasi sepenuhnya dengan jalan taubat, yakni perbuatan kembali kepada ketaatan kepada Allah, kembali mematuhi Pimpinan Ilahi (2:38; 6:48), yang mengandung arti: perubahan yang sempurna dalam penghidupan.[]

Al-Fatihah: Tafsir Teks dan Konteks Ayat 4-7 [5]

Ayat keempat Iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’în, artinya kepada Engkau kami mengabdi dan kepada Engkau kami mohon pertolongan. Katana’budu artinya kami mengabdi, mengandung pengertian ketaatan yang disertai dengan segenap kerendahan hati (TA), yakni ketaatan kepada perintah Ilahi, pandangan, hukum, norma, dan nilai yang termaktub dalam Alquran, agar akhlak Ilahiyah menyerap ke dalam hati sanubari kita, pandangan dan tabiat kita berubah dan sekalian belenggu perbudakan kepada keinginan-keinginan duniawi beserta akibat-akibatnya diputuskan, sehingga kita hidup kembali dengan jiwa merdeka, adil dan bijaksana. Singkatnya, dengan sikap batin yang baru, yang memberi hak kepada kita akan sebutan Khalifah Allah, wakil Allah di muka bumi. Sebagai Wakil Allah tentu berusaha keras “mengambil warna Allah”(2:138), memiliki sifat-sifat yang menyerupai Sifat-sifat Allah (7:180) atau seperti diperintahkan oleh Rasulullah saw.: Takhallaqû bi akhlâqillâh, berbudi pekertilah kamu dengan pekerti Allah. Inisiatif tentang hal ini harus diambil oleh manusia sendiri, sebab Allah tak mengubah keadaan sesuatu bangsa atau karunia yang dianugerahkan kepadanya, hingga mereka mengubah keadaan batin mere-ka sendiri (13:11; 8:53), dan manusia tak dapat memperoleh selain apa yang ia usahakan (53:39). Jadi manusia dikaruniai kebebasan untuk memilih, karena itu ada sorga dan neraka.
Perkembangan khuluq insani tersebut tak mudah men-capainya, maka kita dibimbing agar mohon pertolongan dan bantuan Allah Yang Maha-tahu, Maha-kuasa dan Maha-bijaksana, Sumber segala kekuatan dan segala hukum dan hanya kepada-Nya saja sekalian makhluk bergantung: wa iyyâka nasta’în. Kata kerja ista’ana atau mohon pertolongan (‘aun) Allah mengandung makna, bahwa manusia tak boleh putus asa dan putus harap akan tercapainya suatu tujuan yang baik (38:42), ia harus tabah hati, tekun dan tenang (3:119; 2:153), sebab:
  1. Allah adalah tempat bergantung segala sesuatu (112:2) dan asal segala sesuatu (3:119, 138), Ia dapat berbuat apa saja yang tampaknya mustahil bagi manusia (11:107).
  2. Pertolongan Allah tak akan mengecewakan harapan, sebab janji Allah itu benar (10:55) dan senantiasa dipenuhi (73:18), karena Allah tidak melalaikan janji-Nya (2:80).
  3. Orang beriman dianjurkan agar senantiasa dzikrullâh (62:10 dan menjadikan Allah tujuan hidupnya (94:8; 27:62). Lillâhi ta’âla motif segala perilaku dan perbuatannya (6:162).
Dalam tiga ayat pertama Allah disebut sebagai orang ketiga, tetapi dalam ayat ini Dia disebut sebagai orang kedua. Renungan atas keempat sifat pokok Ilahi membangkitkan keinginan dan hasrat yang begitu kuat untuk berjumpa Dia Yang Maha-kasih dan mempersembahkan pengabdian sepenuh hati dan jiwa kepada-Nya, sehingga untuk memuaskan jiwanya itu bentuk orang ketiga digubah menjadi bentuk orang kedua, Engkau.
Perkembangan khuluq insani tersebut tak mudah mencapainya, maka kita dibimbing agar mohon pertolongan dan bantuan Allah Yang Maha-tahu, Maha-kuasa dan Maha-bijaksana, Sumber segala kekuatan dan segala hukum dan hanya kepada-Nya saja sekalian makhluk bergantung: wa iyyâka nasta’în. Kata kerja ista’ana atau mohon pertolongan (‘aun) Allah mengandung makna, bahwa manusia tak boleh putus asa dan putus harap akan tercapainya suatu tujuan yang baik (38:42), ia harus tabah hati, tekun dan tenang (3:119; 2:153), sebab:
Ayat kelima, ihdinash-shirâathal-mustaqîm, artinya “Pimpinlah kami pada jalan yang benar”. Jelaslah bahwa yang dimohon orang beriman bukanlah pertolongan Ilahi untuk memperoleh suatu anugerah-Nya tanpa berbuat apa-apa; dia hanya melahirkan hasratnya yang menyala-nyala ke hadirat Allah Azza wa jalla – Yang Maha-besar dan Maha-kuasa – berusaha menempuh suatu jalan yang benar atau lurus dalam menyelesaikan urusan sehari-hari, yaitu suatu jalan yang meningkatkan martabat dan kehormatannya. Singkatnya, isti’anah (pertolongan) yang memungkinkan dia memelihara kedudukan dan melaksanakan peranannya sebagai Khalifah Allah di muka bumi.
Kata hidayah bukan hanya sekedar “menunjukkan jalan yang lurus” (90:10), melainkan pula “membimbing ke jalan yang lurus” (29:69) dan “membuatnya seseorang mengikuti jalan yang lurus itu” (7:43). Pertolongan Ilahi sangat diperlukan pada setiap langkah dan saat, maka perlu doa terus menerus untuk mencapai tujuan rohani yang lebih luhur lagi. Apakah tujuan rohani yang luhur itu? Ayat berikutnya menjelaskannya.
Ayat keenam “Shirâthalladzîna an’amta ‘alaihim”, artinya “jalan orang-orang yang telah Engkau beri kenik-matan”. Dalam ayat ini ditegaskan bahwa orang beriman sejati tidak puas hanya dengan dipimpin ke jalan lurus untuk melakukan amal saleh tertentu saja, tetapi hendaknya lebih tinggi lagi sebagaimana telah dicapai oleh orang-orang pilihan Tuhan yang telah memperoleh sukses hakiki dan kemenangan, serta kejayaan yang gilang gemilang dalam sejarah kemanusiaan. Menurut Ibnu Abbas orang-orang yang telah diberi kenikmatan itu ialah empat golongan manusia yang disebutkan dalam 4:69, yakni: para Nabishiddiqîn (manusia tulus), syuhadâ’ (manusia setia) dan shalihin(manusia luhur). Shiddiqîn adalah orang-orang tulus, yaitu orang-orang yang benar dalam hal iman dan kata-kata dan perbuatan mereka menguatkan kebenaran itu. Syuhadâ’ adalah manusia setia, yaitu orang-orang yang dengan kata-kata dan perbuatan mereka menjadi saksi-saksi tentang kebenaran agama Allah dan orang-orang yang terbunuh atau mengorbankan hidupnya dalam membela agama-Nya. Sedang shalihin adalah manusia-manusia luhur, yaitu orang-orang yang tetap menempuh jalan yang benar dalam segala perbuatannya, apapun yang akan terjadi.
Keempat golongan ini seperti dijelaskan oleh Soedewo P. K. adalah “pemimpin rohani, yang tujuan hidupnya bukan saja kesempurnaan rohani diri sendiri, melainkan juga kesempurnaan rohani orang lain; mereka itu orang-orang yang telah mencapai perhubungan dengan Allah dan dianugerahi karunia-karunia seperti busyra (10:62-64) ataumubasysyirât (visiun-visiun yang benar) (Bukhari 92: 4, 5) yang berjuang untuk membongkar kejahatan-kejahatan dengan akar-akarnya dan menegakkan kebenaran, keindahan dan kebaikan di muka bumi ini” (Intisari Qur’an Suci, hal. 78-79). Jadi orang Islam harus memohon pula kenikmatan Allah yang dianugerahkan kepada orang tulus dalam membasmi kejahatan dan menegakkan kebaikan di dunia dengan tangannya jika mampu, jika tidak dengan lisannya dan jika terpaksa tidak mampu pula dengan hatinya.
Akhirnya yang perlu diperhatikan ialah bahwa kenikmatan Ilahi tertinggi, berupa wahyu Ilahi, tidak hanya dikaruniakan kepada para Nabi saja, tetapi juga dikaruniakan kepada orang-orang tulus yang mengikuti jalan yang benar. Alquran memberikan contoh, wahyu Ilahi dikaruniakan kepada orang-orang tulus yang bukan Nabi, misal-nya: kepada ibu Nabi Musa (20:38) dan keapda murid-murid Nabi Isa (5:111), dan wahyu-wahyu dalam bentuk seperti itu dijanjikan pula kepada orang-orang tulus di antaraumatIslamsebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah saw.: “Di antara mereka terdapat orang yang diberi firman Allah, sekalipun mereka bukan Nabi” (Bukhari). Antara kenabian dengan wahyu adalah dua hal yang berbeda. Dengan terutusnya Nabi Muhammad saw. dan sempurna-nya agama dalam Islam (5:3) kenabian telah diakhiri (33:40), tetapi pintu wahyu tetap terbuka, yang secara praktis disebut ilham, wahyu (lengkapnya wahyu matlu) hanya untuk para Nabi saja.
Akhirnya ayat ketujuh “Ghairil-maghdlûbi ‘alaihim waladhdhâlîn”, artinya “Bukan (jalan) orang-orang yang terkena murka dan bukan pula (jalan) orang-orang yang sesat”. Di sini umat Islam diperingatkan bahwa sekalipun mereka telah menerima kenikmatan Ilahi, mereka dapat terkena murka dan menyimpang dari jalan yang menyimpang dari jalan yang menuju kesempurnaan. Sebagaimana kaum Yahudi yang mengabaikan perbuatan baik, tak melaksanakan jiwa ajaran agama, sekalipun mereka me-megang teguh ajaran itu secara lahiriah (skripturalis); mereka terkena murka Ilahi (2:61, 90; 3:111; 5:60), karena eksklusivistik, menolak kerasulan Isa Almasih dan ber-usaha keras membunuh beliau dan membasmi agama beliau. Sedang kaum Kristen menjadi tersesat karena juga melebihi batas mereka mengangkat seorang Nabi yang fana’fillâh ke derajat ketuhanan, sehingga qâlu innallâha huwal-masîhubnu maryâm, mereka berujar sesungguhnya Allah itu adalah dia Almasih bin Maryam (5:17, 72); inilah akar kesesatan mereka (5:77). Berkenaan dengan kedua umat ini Rasulullah saw. bersabda: “Orang-orang yang terkena murka ialah kaum Yahudi dan orang-orang yang tersesat ialah kaum Nasrani” (Tirmidzi). Namun perlu diingat bahwa mereka terkena murka dan tersesat bukan karena ke-Yahudian dan ke-Kristenannya, melain-kan karena ekstremitas dan eksklusivitas mereka. Jadi sabda Rasulullah saw. itu seperti dijelaskan oleh Maulana Muhammad Ali, “hanya penjelasan saja, tak membatasi arti aslinya yang dipakai dalam ayat ini. Dengan demikian umat Islam diajarkan doa, agar mereka jangan sekali-kali mengabaikan perbuatan baik selagi mereka berpegang teguh pada bunyinya hukum syariat dan jangan pula merusak ajaran agama, dan agar mereka tetap pada shirâthal-mustaqîm, dengan menjauhkan diri dari perbuatan yang melewati batas”.
Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa tiga ayat terakhir surat Alfatihah membeberkan permohonan yang lahir dari hasrat jiwa yang menyala-nyala di hadapan Tuhan Yang Maha-pencipta, untuk berjalan di jalan yang benar, tak menyimpang ke kana atau ke kiri. Apakah permohonan tersebut tak diijabahi oleh Tuhan, padahal permohonan tersebut senantiasa diserukan di muka bumi? Allah sebagai pihak kedua senantiasa mengabulkan atau mengijabahi permohonan hamba-hamba-Nya (2:186). Ijabah tersebut telah dinyatakan dalam surat berikutnya, Albaqarah yang berbunyi: “Alif Lâm Mîm”, Aku Allah Yang Maha-mengetahui (2:1), selanjutnya “Ini Kitab yang tak ada keragu-raguan di dalamnya, petunjuk bagi orang yang menunaikan kewajiban” (2:2), dan seterusnya. Sungguh ajaib, Alfatihah yang diturunkan pada zaman Mekah permulaan mempunyai hubungan erat dengan wahyu yang diturunkan 14 tahun kemudian di Madinah. Hamba sebagai orang pertama aku atau kami dan Allah sebagai pihak keduaEngkau, atau sebaliknya. maka dari itu Rasulullah bersabda bahwa barangsiapa membaca Alquran berarti ia bermukallamah (berwawansabda) dengan Tuhan.[]

Mengenal Surat Al Fatihah

Islam sangat menekankan pentingnya al-Quran. Mulai dari membaca hingga merenungi makna-maknanya. Salah satu ibadah mulia dalam Islam adalah membaca ayat-ayat al-Quran dan merenungkan maknanya. Allah Swt dalam surat Muhammad ayat 24 menyeru para ilmuwan dan cendikiawan untuk memikirkan dan merenungkan al-Quran. Allah Swt berfirman, "Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran atau hati mereka terkunci?"
Dalam ayat lainnya Allah Swt berfirman, "Al-Quran adalah yang tidak datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji."Pembahasan tentang ilmu-ilmu al-Quran begitu luas mulai dari sejarah penyusunan, penulisan, hingga kajian-kajian yang berhubungan dengan tafsir sains. Namun dalam bahasan ini telah diupayakan sedemikian rupa sehingga pembaca dapat mengenal surat-surat al-Quran secara umum.

Informasi umum tentang setiap surat al-Quran akan membantu setiap orang yang ingin mengkaji lebih jauh tentang al-Quran. Boleh dikata, pengenalan surat-surat al-Quran menjadi batu loncatan dan pendahuluan untuk memahami sebuah surat yang ingin dibahas. Dalam kajian ini akan ada informasi mengenai sebab penamaan surat, makna, hubungan antara nama dan surat tersebut, penjelasan umum mengenai tema-tema yang ada dalam surat itu dan lain-lainnya. Diharapkan kajian setiap surat al-Quran dapat memberikan sumbangsih untuk dapat merenungi lebih dalam akan al-Quran.

Sebelum memulai kajian surat al-Quran, ada satu poin yang perlu ditekankan di sini. Terdapat banyak penafsiran terkait ayat-ayat al-Quran. Ini satu kenyataan yang tidak dapat dihindari dan menjadi keistimewaan al-Quran. Sementara kajian mengenal surat-surat al-Quran bukan tafsir. Oleh karenanya, dalam kajian ini sebisa mungkin diusahakan untuk menghindari penafsiran al-Quran.

Bila ingin mengetahui penafsiran ayat-ayat yang ada dalam kajian pengenalan surat-surat al-Quran, maka pembaca dapat merujuk langsung pada buku-buku tafsir terkemuka baik dari Syiah dan Ahli Sunnah.

Ada ungkapan dari Imam Khomeini ra yang sangat membantu kita memahami ayat-ayat al-Quran. Dalam buku tafsirnya yang ditulis pada masa awal Revolusi Islam, beliau mengatakan, "Kondisi tertutup seperti saat ini cenderung membuat orang menyebut apa saja yang terlintas di benaknya sebagai al-Quran. Namun tidak dengan saya. Bila saya mengemukakan sesuatu tentang ayat al-Quran, maka saya berusaha untuk tidak mengatakan bahwa inilah yang pasti dimaksudkan oleh ayat ini."

Sebagaimana al-Quran dibuka dengan surat al-Fatihah, kajian pengenalan surat-surat al-Quran akan dimulai dengan surat ini.

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

Dengan menyebut nama Allah Pencipta seluruh wujud dan Pemilik Seluruh Kesempurnaan. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Setiap surat dalam al-Quran diawali dengan bismillahirrahmanirrahim, kecuali surat at-Taubah. Ucapan bismillahirrahmanirahim yang biasanya disebutbasmalah ini membimbing umat Islam agar dalam setiap pekerjaan yang ingin dilakukannya senantiasa dimulai dengan nama Allah Swt dan tidak pernah melupakan-Nya. Hal ini begitu ditekankan sampai-sampai Rasulullah Saw dalam hadisnya menyebut setiap pekerjaan yang dimulai tanpa menyebut nama Allah adalah pekerjaan tanpa hasil.

Surat al-Fatihah adalah surat pertama al-Quran. Namun tidak berarti ini adalah surat pertama yang diwahyukan kepada Nabi. Adapun tentang surat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah, terdapat banyak pendapat. Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa surat al-'Alaq adalah surat pertama yang diturunkan kepada Nabi di gua Hira. Kandungan surat ini menjelaskan tentang pentingnya proses belajar-mengajar.

Surat al-Fatihah adalah surat pembuka al-Quran dan memiliki tujuh ayat. Ayat pertama hingga keempat menyinggung masalah ketauhidan dan pujian kepada Allah Swt serta jalan hidayah. Adapun dalam tiga ayat berikutnya, Allah Swt berbicara dengan bahasa hamba-hamba-Nya dan menyebutkan tentang penghambaan dan ibadah berdasarkan lisan makhluk. Surat al-Fatihah diturunkan pada tahun ketiga pengutusan Nabi dan merupakan surat ke 43 yang diturunkan di kota Mekah.

Mengingat kebesaran dan posisinya dibandingkan dengan surat-surat al-Quran lainnya, surat al-Fatihah juga memiliki banyak nama yang masing-masing saling berkaitan. Disebut dengan surat Hamd karena mengandung pujaan serta pujian kepada Allah Swt. Disebut dengan al-Fatihah karena surat ini mengawali surat-surat al-Quran lainnya. Juga disebut dengan Ummul Kitab dan Ummul Quran, karena yang disebutkan dalam al-Quran, poin-poin utamanya telah disebutkan dengan indah dalam surat al-Fatihah. Sab'ul Matsani adalah nama lain dari surat al-Fatihah, karena dua kali diturunkan dan dibaca dua kali dalam setiap shalat. Masih ada nama lain dari surat al-Fatihah yaitu Kafi dan Wafi. (IRIB)